Program utama pemerintahan orde baru adalah menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi yang mantap karena pencapaian stabilitas politik
tersebut merupakan persyarat bagi tercapainya pembangunan ekonomi. Sejalan
dengan cita-cita tersebut, presiden Soeharto yang telah memperoleh mandat dari
MPRS pada tanggal 6 Juni 1968 segera membentuk kabinet Pembangunan I dengan
program kerja utamanya, antara lain
1.
Menciptakan stabilitas politik dan
ekonomi;
2.
Melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita);
3.
Melaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu);
4.
Mengikis habis sisa-sisa G 30S/PKI
samapai keakar-akarnya serta menindak setiap penyelewengan terhadap Pancasila
dan UUD 1945;
5.
Melanjutkan pembersihan terhadap seluruh
aparatur negara dari unsur-unsur G 30S/PKI
DPR
dalam memenuhi amanat Tap. MPRS No. X/MPRS/1966, juga telah mengusahakan
pembentukan alat kelembagaan negara melalui penyusunan beberapa undang-undang,
antara lain
1.
UU No. 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD;
2.
UU No. 8 Tahun 1967 tentang Susunan dan
Kedudukan DPA;
3.
UU No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok
Kekuasaan Kehakiman;
4.
UU No. 5 Tahun 1970 tentang Susunan dan
Kedudukan BPK
Selain
sejumlah undang-undang tersebut, beberapa perundang-undangan lain juga berhasil
di bentuk, seperti UU No. 11 Tahun 1966 tentang Pers, UU No. 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golkar, serta
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di Daerah. Selanjutnya, guna
melaksanakan sistem ketatanegaraan RI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 maka
semua lembaga-lembaga negara, seperti
MPR, presiden, DPA, DPR, MA, dan BPK serta lembaga pemerintahan di pusat
dan daerah yang telah berhasil di bentuk juga di instruksikan agar segera di
aktifkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk
meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan maka seluruh lapisan
masyarakat Indonesia dihimbau agar berperan aktif dalam menyukseskan
pelaksanaan pembangunan di segala bidang.
Tekad
untuk membangun perekonomian dan menciptakan kestabilan politik tersebut
mendasari kebijakan pemerintah Orde Baru yang berlangsung selama 32 tahun.
Adapun ciri-ciri sistem politik Orde Baru, antara lain Dwi Fungsi ABRI, konsep
massa mengambang, korporatisasi negara, sentralisasi pemerintahan, program-program
bantuan luar negeri, dan sistem semi perwakilan.
1.
Dwi Fungsi ABRI
Melalui
keputusan sidang umum MPR, ditetapkan secara resmi Dwi Fungsi ABRI sebagai
peran ABRI dalam pembangunan bangsa. Dwi Fungsi adalah suatu doktrin di
lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas,
yaitu menjaga keamanan dan ketertiban negara serta memegang kekuasaan dan
mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer di izinkan untuk memegang
posisi di dalam pemerintahan. Konsep Dwi Fungsi TNI pertama kali muncul pada
tahun 1958 yang memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI didalam
pemerintahan sipil. Pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami
perubahan dan menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perseorangan)
menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri,
gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.
Melalui konsep Dwi Fungsi, ABRI merupakan kekuatan signifikan dalam percaturan
politik Indonesia. Dengan memakai konsep Dwi Fungsi, kekuatan sosial politik
ABRI merambah berbagai sektor kehidupan masyarakat. Misalnya, di bidang
birokrasi, dominasi militer terlibat dari pengisian jabatan-jabatan di
pemerintahan yang diisi oleh perwira militer atau penunjukan perwira militer
aktif menjadi anggota MPR. Dengan memanfaatkan Dwi Fungsi ABRI ini, Orde Baru
telah berhasil melegitimasi kekuasaan. Dampak negatif Dwi Fungsi adalah
penerapan pendekatan keamanan dalam menyelesaikan masalah pembangunan.
Kebijakan tersebut menimbulkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia (HAM)
di kalangan rakyat yang bersengketa dengan pemerintah. Misalnya, terjadinya
kasus Kedungombo di Jawa Tengah, kasus Way Jepara di Lampung, penembakan oleh
aparat di Waduk Nipah, Madura, dan kasus 27 Juli 1996.
2.
Konsep Massa Mengambang
Didalam
bidang politik dalam negeri, beberapa langkah penting juga di ambil oleh
Pemerintah Orde Baru, seperti memberlakukan konsep massa mengambang (floating muss) sebagai dasar pembangunan
politik di daerah pedesaan, penyederhanaan jumlah partai politik di Indonesia,
dan memberlakukan Pancasila sebagai asas tunggal bagi seluruh partai politik
(parpol) dan organisasi massa (ormas) yang ada di Indonesia. Dalam konsep massa
mengambang, rakyat secara luas di pisahkan dari kehidupan politik.
Partai-partai politik dibatasi ruang gerak dan aktifitasnya karena partai
dilarang mendirikan perwakilan di tingkat desa sehingga ikatan antara partai
dan massa sangat terbatas. Hubungan antara partai politik dan massa rakyat
hanya berlangsung pada Pemilu. Namun, ketentuan tersebut tidak berlaku untuk
Golkar yang dikategorikan sebagai nonpartai. Melalui aparat desa yang menjadi
kadernya, Golkar aktif melakukan penggalangan massa.
3.
Korporatisasi Negara
Stabilitas
menjadi unsur penting dalam melaksanakan pembangunan. Untuk itu, pemerintah
Orde Baru berusaha menciptakan stabilitas dengan berusaha mengendalikan
lawan-lawan politiknya. Aparatur negara harus benar-benar setia dan patuh pada
pemerintahan yang berkuasa yang dikamuflasekan sebagai penjelmaan dan atas nama
rakyat. Untuk itu, lahir organisasi Korpri (Korps
Pegawai Republik Indonesia) untuk wadah para pegawai pemerintah. Pemerintah
juga membentuk berbagai organisasi untuk berbagai profesi, kelompok masyarakat,
dan mahasiswa. Muncul organisasi SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) untuk
buruh, PGRI ( Persatuan Guru Indonesia) untuk guru, KNPI (Komite Nasional
Pemuda Indonesia) untuk para pemuda, PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) untuk
para wartawan, dan masih banyak lagi. Semua organisasi sosial kemasyarakatan
itu, sayangnya arah pembentukanya hanya ditunjukan untuk melanggengkan
kekuasaan pemerintah. Caranya pada setiap pelakasanaan pemilu mereka diarahkan
dan diwajubkan untuk memilih Golkar dan tidak diberi kebebasan untuk memilih.
Seiring
dengan penerapan politik massa mengambang, pemerintahan Suharto menerapkan
kebijakan korpotatisasi negara (state
corporatism). Kelompok-kelompok masyarakat dari berbagai unsur, seperti
buruh, pers, perempuan, kelompok profesi, dan organisasi keagamaan dikooptasi
dan ditempatkan kedalam wadah-wadah tunggal sebagai ormas kepanjangan tangan
pemerintah.
thank kk
BalasHapus